Moderasi Dari Masa Ke Masa

Prinsip Moderasi sebagai Karakter Aswaja dibuktikan dari masa Sahabat Hingga Masa Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

1) Masa Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA.

Saat Kepemimpinan Sayidina Ali RA muncul Fitnah besar (Fitnah kubro) dan Tahkim. Pada saat itu terjadi pertempuran pemerintah yang sah dipihak sahabat Ali berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan gubernur Suriah, perang ini dikenal dengan sebutan Perang Shiffin yang terjadi pada tahun 35 H.

Kemudian terjadi juga perang yang dipimpin Sahabat Ali melawan Sayidah Aisyah Istri Rasulullah yang dikenal dengan Perang Jamal pada tahun 36 H.

Dalam Instabilitas  ini terdapat Empat golongan kekuatan besar umat islam telah melahirkan kelompok-kelompok (firqoh-firqoh) :

Pertama, golongan Syiah. Komunitas umat Islam yang mengklaim membela mati-matian Ali Bin Abi Thalib RA

Kedua,  golongan Jabariyah (Fatalistic) yang berkeyakinan suatu kejadian maupun segala sesuatu sepenuhnya tersentral kepada Tuhan. Pada perkembangan berikutnya, sebagai reaksi kelompok ini muncul golongan yang disebut Qodariyah, merupakan Embrio lahirnya golongan Mu’tazilah.

Ketiga,  golongan Khawarij. Mereka tidak sepaham dengan barisan kubu Ali bin abi thalib dan loyalisnya.  Sebagai respon balik dari kelompok ini, muncul suatu gerakan yang terkenal dengan sebutan Murjiah, mereka komunitas yang tidak sepaham dengan kaum khawarij tentang persoalan iman dan kufur.

Keempat, golongan Netral. Adalah kelompok Islam Moderat ditengah masyarakat muslim. Mereka diantaranya adalah Abdullah bin mas’ud, Abdullah bin abbas, Abdullah bin Umar yang secara langsung maupun tidak langsung mengembangkan nilai-nilai agama islam dan kemudian menjadi embrio Sunni (Aswaja).

2) Masa Tabi’in

Era tabiin, ditengah kemelut umat islam yang tidak ada ujungnya, berawal dari konflik politik kemudian dikemas dengan “Sampul akidah” dan di tengah bergulirnya pemikiran yang terlalu fatalistik (Jabariyah), pemikiran ekstrim (Khawarij), pemikiran yang terlalu mengkultuskan seseorang (syiah), dan pemikiran yang terlalu rasional (Qodariyah), maka muncul pemikiran moderat (tawassut), Toleran (tasamuh), adil (i’tidal), dan berimbang (tawazun) dari Hasan Al Basri.

3) Masa Abu Al Hasan Al Asy’ari

Era Berikutnya, moderasi islam murni ini dirumuskan kembali oleh Al Asy’ari seorang pakar ilmu logika (kalam) yang mensintesiskan pendekatan rasionalis ala mu’tazilah dan literalis-tekstualis ala Ibnu hanbal. Paham ini kemudian berkembang menjadi mazhab Asy’ari. Imam Asy’ari  berhasil mengambil jalan tengah (moderat) dari pro kontra  bahkan dari pertikaian teologis antara mu’tazilah yang didukung penguasa dan ibnu hanbal seorang ahli hadis yang literalis.

Pada masa Al Asy’ari ada beberapa kelompok dan aliran mereka adalah Ahlussunnah, Hashawiyah, Mu’tazilah, Mulhidin, Qoromithah, dan Zanadiqoh. Ahlussunnah terdiri dari kalangan Fuqoha dan ahli hadits yang mendalami keilmuan tanpa perdebatan dan pertentangan. Sedangkan Hashawiyah meyakini Allah Menyerupai Makhluk (tasybih) dan meyakini Allah berbentuk serta memiliki anggota tubuh (Jism).

Mu’tazilah menafikan sifat-sifat Allah, mendahulukan akal dari Naql, meyakini kemakhlukan Al Qur’an, menafikan Ru’yatullah di akhirat, mengingkari adanya Syafaat. Sementara Mulhidin, Qoromithoh, dan Zanadiqoh membuat kerusakan dan melakukan Makar/pemberontakan kepada pemerintah yang konstitusional.

4) Masa KH. M. Hasyim Asy’ari

Dekade ini, dalam konteks keumatan di  Indonesai Rais Akbar NU berikhtiyar menempuh jalur moderasi. Bersama kolega-koleganya KH. M Hasyim Asy’ari berhasil memelopori berdirinya Organisasi Islam (Nahdlatul Ulama) yang secara legal berbasis Ahlussunnah wal Jamaah yang dipresentasikan oleh Abu Al Hasan Al Asy’ari.

Baginya, menganut faham Aswaja adalah sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim rasionalis (Mu’tazilah) dengan ekstrim literalis (Salafi/wahabi). Karena pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 ada dua Orientasi keagamaan yang saling berhadapan, yaitu Madzhabiyah traditionalism dan salafiyah ortodoxy. Yang pertama menunjuk pada ekspresi keagamaan Muslim Nusantara sejak era  awal penyebaran islam, sedangkan orientasi keagamaan yang kedua menunjuk pada kelanjutan gerakan pembaruan islam timur tengah yang mengoreksi orientasi idiologi yang sudah mapan sebelumnya.

Sebab itu sumber pemikiran bagi KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya al Qur’an dan as Sunnah tapi juga menggunakan kemapuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir inilah yang dinilai merujuk dari pemikir terdahulu seperti abu Al hasan Al Asy’ari & Abu Manshur Al maturidi dalam bidang teologi, kemudian dalam bidang Fiqh lebih cendrung mengikuti mazhab Imam as Syafi’i dan mengakui tiga mazhab lain. Sementara dalam bidang spiritual mengembangkan metode Al Ghazali dan Al Junaidi yang menintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Ketiga aspek tersebut sesungguhnya adalah jalan tengah atau moderasi diantara dua ujung ekstrim. Ikhtiyar KH.M. Hasyim Asy’ari dan NU untuk mengikuti jejak Al Asy’ari dalam bersikap, merupakan jalan tengah antara Jahmiyah dan Musyabbihah mengenai Asma dan Sifat Allah, jalan tengah antara Jabariyah dan Qodariyah tentang Af’al Allah serta Jalan tengah antara Syiah (Rafidlah) dan Khawarij tentang keluarga (ahl bait) Nabi Muhammad SAW.

Inilah keempat masa dalam rentang sejarah umat islam dimana moderasi pemahaman keagamaan dianut oleh mayoritas umat islam, atau dengan kata lain sejarah umat islam selalu dikawal oleh moderasinya.

Fakta sejarah ini meniscayakan suatu kesimpulan, suatu ajaran akan bertahan apabila dikawal oleh semangat moderasi, namun sesungguhnya terdapat faktor lainnya, yaitu dukungan suatu kekuatan, baik itu dari dan oleh pemerintahan yang Sah atau propaganda dan rekayasa. Suatu kelompok ekstrim bertahan tentu bukan karena keyakinan ekstrimnya, tapi kekuatan siapa dan apa dibelakang eksistensinya.
Sejarah yang membuktikan !!!

Istiqamahlah dengan prinsip moderat (tawassut) yaitu Adil ; seimbang. Jangan berlebihan.

atabroni | ☕ ngopiaswaja