question mark 3d illustration isolated on white background

Beragam(A) Koq Repot

Oleh : M. Bachtiar Efendi S.Th.I, MA.

Dalam pengertian secara umum bahwa agama merupakan sistem yang dirancang oleh Allah SWT., dikomandoi para nabi, rasul, serta para ulama sebagai pembawa risalah bertujuan agar manusia mampu meraih kedamaian dan keselamatan sejati. 

Sejak keberadaan Nabi Adam AS. aturan yang merupakan bagian dari sistem berupa perintah dan larangan telah ditetapkan oleh Allah SWT., bahkan “reward” dan “punnishment” pun pada hakikatnya bersamaan juga disampaikan oleh-Nya kepada makhluk. 

وَقُلْنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ ٱلْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. QS. Al-Baqarah: 35

Dalam tafsir Al-Mishbah karya Prof. M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa larangan mendekati satu pohon dari sekian banyak pohon di kebun itu (surga) merupakan isyarat tentang sedikitnya larangan Allah SWT dibanding apa yang diperbolehkan-Nya. 

Sejatinya dengan adanya sedikit larangan dan banyaknya yang diperbolehkan adalah ungkapan tersirat bahwa Allah SWT berkeinginan agar manusia lebih banyak menikmati karunia dan anugerah yang datang dari-Nya serta merasakan kebahagiaan di alam semesta. Ironisnya, manusia cenderung lebih memilih sesuatu yang akan menjadikan dirinya repot. 

Allah SWT menyerukan kepada manusia untuk menuju jalan kedamaian dan keselamatan. Seruan menempuh jalan tersebut harus diikuti dengan meniti nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam.

Sebagai agama yang datang dari Allah SWT dengan diutusnya seorang Nabi yang jujur, terpercaya, penyampai, dan cerdas yakni Sayyiduna Muhammad SAW., Islam memiliki arti as-salmu (kedamaian), aslama (kepasrahan), salim (suci), dan salam (keselamatan). 

Setiap muslim seyogyanya mampu menjadi pembawa kedamaian dan keselamatan bagi siapa saja, bukan hanya untuk pribadinya semata, melainkan pula terhadap orang lain. 

Ciri muslim sesungguhnya ialah merangkul bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, dan membela bukan mencela. Begitulah kutipan kalimat yang diutarakan oleh KH. Miftahul Akhyar dalam acara penutupan Munas ke-10 Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta. 

Disampaikan oleh Gus Baha di Universitas Islam Sultan Agung bahwa saat ini ada orang-orang yang menyampaikan ajaran Islam seolah aturan didalamnya repot, mengekang, dan bahkan terkesan bengis. Faktor penyebabnya mereka semacam itu adalah karena kurang baca. Orang yang bacaannya sangat terbatas, apalagi taunya hanya satu dalil saja maka sangat mudah mengklaim orang lain salah. 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Padahal Nabi sendiri kalau mengajarkan kebaikan itu rileks. Dalam bahasa kerennya saat ini “santuy”. Agama yang diajarkan Rasulullah SAW memang rileks, tidak pernah mengajarkan Islam seperti mereka yang kaku, keras, bengis seraya gampang mengklaim orang lain sesat, bid’ah dan ahli neraka.

Sebagai contoh kisah tentang Sahabat Mu’adz yang mengadu kepada Rasulullah SAW karena ada ma’mum yang mufaraqah dari jama’ah, yaitu ketika Sahabat Mu’adz menjadi Imam membaca surat Al-Bqarah, ada salah satu ma’mum yang mufaraqah lalu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Mungkin tujuan Sabahat Mu’adz agar orang yang mufaraqah itu ditegur Rasulullah. Tapi ternyata, yang disalahkan adalah Sahabat Mu’adz karena membaca surat panjang sementara ma’mum yang mufaraqah adalah seorang petani. Rasulullah SAW menegur Sahabat Mu’adz agar ketika menjadi Imam memperhatikan ma’mum yang memiliki kepentingan dalam pekerjaannya. Maksud dari arti hadits ini adalah kebolehan mufaraqah dalam shalat berjamaah jika memang ada ‘udzur. Jadi, ajaran Islam itu tidak kaku justru memperhatikan kepentingan setiap muslim.

Contoh kedua, yaitu puasa sunah karena tidak ada makanan atau sarapan. Ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Siti Aisyah RA, apakah ada makanan dan Siti Aisyah RA menjawab tidak ada, Rasulullah SAW langsung memutuskan puasa sunah. Jika memang ada makanan/sarapan, Rasulullah SAW tidak puasa sunah. Maksud arti hadits ini mengajarkan muslim bahwa Islam itu mudah khususnya dalam beribadah puasa sunah, tidak harus berniat di malam hari.

Contoh ketiga, saat Rasulullah SAW mengadakan majelis ilmu di masjid, ada orang yang tidak ikut majelis ilmu malah kerja ke kebun. Semua sahabat yang ikut majelis Rasulullah SAW “menggerutu”, ini orang gak bener, kok bisa pergi ke kebun sementara Rasulullah SAW sedang mengadakan majelis ilmu. Malah Rasulullah SAW bilang dengan sangat tenang kepada Sahabat, itu bagus karena ikut ajaran saya. Ngaji ajaran saya kerja juga ajaran saya. Dia kerja ke kebun karena mencari nafkah untuk keluarganya. Arti hadits ini menjelaskan bahwa muslim jangan gampang menganggap salah kepada orang lain hanya karena sudah merasa melakukan kebaikan.

Contoh keempat, saat ada orang ingin masuk Islam tetapi syaratnya tidak boleh dilarang melakukan zina. Semua sahabat yang mendengar ucapan orang ini kaget dan marah. Para Sahabat berkeyakinan Rasulullah SAW akan marah juga ketika orang tersebut datang kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan ucapannya itu. Namun apa yang terjadi ketika berhadapan dengan Rasulullah SAW, orang tersebut tidak dimarahi atau dibilang ahli neraka seperti ada kelompok sekarang yang mudah menerakakan orang lain yang dianggap salah. Justru Rasulullah SAW membimbing orang itu dan merubah pikirannya yang masih dikuasai nafsu melakukan zina. Rasulullah SAW bertanya, bagaimana jika ibumu, bibimu, saudarimu yang diperlakukan zina oleh laki-laki lain? Mendengar pertanyaan tersebut, orang yang hendak masuk Islam tapi tetap ingin berzina, pikiran dan hatinya langsung terbuka dan langsung menganggap zina sebagai perbuatan keji. Hadits ini menjelaskan kepada kita bagaimana Rasulullah SAW sangat memudahkan ajaran Islam bahkan bagi orang yang masa lalunya bejat alias kelam. Rasulullah SAW menyampaikan ajaran dengan menerima siapa saja bahkan orang-orang yang penuh dosa dan beliau SAW tidak mengklaim mereka sebagai penghuni neraka.

Dikatakan oleh al-Imam Ahmad bin Hasan :

مَنْ ضَاقَ عِلْمُهُ ضَاقَ عَمَلُهُ وَمَنْ ضَاقَ عَمَلُهُ ضَاقَ صَدْرُهُ

“Siapa saja yang sempit ilmunya, maka sempit pula amalnya, dan barang siapa yang sempit amalnya, niscaya sempit pula dadanya.”

Rasulullah SAW telah memberikan teladan kepada umat, bahwa untuk menjadi muslim sejati harus memiliki wawasan keilmuan yang luas, sehingga mampu memberikan solusi bagi setiap persoalan yang dihadapi masyarakat. Karena yang demikian (keluasan ilmu) bukan hanya sejalan dengan ibadah mahdhah, melainkan pula dengan ibadah ghairu mahdhah.

Para muballigh yang merupakan penyambung dakwah suci Nabi Muhammad SAW dalam melakukan transfer ilmu bagi umat seyogyanya terus memberi teladan untuk memiliki semangat mendalami ilmu-ilmu Allah SWT. melalui para ulama khas. Sedangkan muslim pada umumnya harus selalu merasa tidak nyaman dengan keilmuan yang dimilikinya dan menjadi orang-orang yang haus dalam menghadiri majelis-majelis ilmu.

Ramainya majelis taklim dan banyaknya jumlah pondok pesantren sebagai wadah untuk menyebarkan dan menggali ilmu agama di Indonesia merupakan salah satu faktor munculnya berbagai pemikiran keagamaan ditengah masyarakat. Untuk menentukan dimana sebaiknya berlabuh untuk mendalami ilmu keislaman, hendaknya pelajari terlebih dahulu latar belakang keturunan (nasab) dan pendidikan (sanad) dari pengasuh serta pengajar. 

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Seorang yang memiliki nasab mulia, sekurang-kurangnya akan terpengaruh oleh kebiasaan para leluhurnya sebagaimana pepatah mengatakan bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.

Hal lain yang penting untuk ditelusuri lebih dahulu dalam menentukan tempat menggali ajaran-ajaran agama Islam ialah mata rantai keilmuan yakni kepada siapa saja sang pengasuh atau para pengajar belajar sejak dahulu bahkan hingga kini, inilah yang dinamakan sanad.

Sufyan at-Tsauri dalam kalamnya mengatakan : 

اْلإِسْنَادُ هُوَ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٌ يُقَاتِلُ؟ 

“Sanad merupakan senjata bagi orang beriman. Maka apabila tidak ada senjata padanya, kemudian dengan apa ia berperang?” 

Adapun Abdullah ibn Mubarok berkata : 

اْلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ، لَوْلاَ اْلإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad (mata rantai), pasti siapapun bisa berkata dengan apa yang dia kehendaki.”

Muslim tidak menolak adanya perbedaan, namun saat mulai merasa bahwa orang lain selalu salah dan dirinyalah yang benar, maka disitulah penolakan sesungguhnya, karena hawa nafsunya lebih besar dari keyakinannya terhadap kasih sayang Allah SWT. Tugas seorang penganut ajaran Nabi Muhammad SAW ialah mengajak orang lain berada dalam kedamaian dan keselamatan sesungguhnya, bukan menabuh genderang perang dan membawa perpecahbelahan. 

Mulailah banyak mempelajari dan mencintai kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW., dengan harapan agar penyakit hati mudah terobati.

بِاللهِ كَرِّرْ ذِكْرَ وَصْفِ مُحَمَّدٍ كَيْمَا تُزِيْحَ عَنِ الْقُلُوْبِ الرَّانَا

Demi Allah, ulang-ulanglah sebutan sifat-sifat Nabi Muhammad, agar menjadi penawar dan pengikis kotoran-kotoran hati. (adh-Dhiyaul Lami’, al-Habib Umar bin Hafiz)

M. Bachtiar Efendi S.Th.I, MA

Koordinator Data Center PCNU Kota Bekasi