KH. Fuad Hasyim Buntet Pesantren Cirebon

Biografi

Prof. Dr. KH. Fuad Hasyim lahir pada tanggal 26 Juni 1941 di Buntet Pesantren Desa Mertapada Kulon Kec. Astanajapura Kab. Cirebon. Beliau merupakan putra dari pasangan Nyai. Hj. Karimah dan KH. Hasyim Manshur.

Dari silsilah ayahnya, beliau adalah keturunan ke-18 dari Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati).

Pendidikan

Prof. Dr. KH. Fuad Hasyim memulai pendidikannya dengan belajar di SR (setingkat SD), ketika sambil sekolah di tingkat dasar, beliau juga belajar berbagai ilmu, dari ilmu nahwu shorof sebagai ilmu alat (gramatika) sampai ilmu fiqh, tauhid sebagai ilmu terapan di Buntet Pesantren. Guru-guru beliau semasa di Buntet Pesantren antara lain KH. Mustahdi Abbas, KH. Chawi, KH. Ahmad Zahid, KH. Arsyad dan kiai-kiai lainnya.

Setelah lulus SR, beliau melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah, di sana beliau hanya belajar 13 (tiga belas) bulan, yang pada waktu itu guru-guru beliau adalah KH. Ma’sum Lasem, KH. Ahmad Syakir, KH. Baidlowi dan KH. Mansyur Kholil.

Setelah belajar di Pondok Pesantren Lasem, beliau melanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri Jawa Timur. Di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso beliau mengkaji ilmu sastra arab selama beberapa bulan, setelah itu beliau pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo Kodya Kediri untuk memeperdalam ilmu ushul fiqh. Dan terakhir beliau belajar di Pondok Pesantren Bendo Pere Kediri selama 4 (empat) bulan untuk memperdalam ilmu tasawuf.

Beliau belum puas dengan menuntut ilmu, di sela-sela kesibukannya dalam menunaikan ibadah haji (1977), kemudian menyempatkan diri belajar pada ulama yang berada di tanah Makkah, di antaranya : Prof. Dr. Assayid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Hasany Al-Maliky dan Syekh Yusuf bin Isa Al-Fadany Al Maliky, di tanah Makkah beliau belajar ilmu hadits dan tafsir.

Mengasuh Pesantren

Pendidikannya tidak sampai di situ, kemudian beliau kembali ke Buntet Pesantren untuk mengamalkan ilmunya dan kembali belajar, sistem belajar yang beliau terapkan tidak sama seperti semasa di pesantren tetapi lebih mengacu dan bersandar pada sistem “self study “, jalan penyelesaian yang beliau tempuh adalah mempraktekan belajar secara “otodidak”, dengan cara membeli kitab dan mengumpulkan bacaan yang bermanfaat, kitab-kitab beliau tersebut berangka kisaran tahun 1965-an.

Peran di Nahdhatul Ulama (NU)

Aktifitas organisasi KH. Fu’ad Hasyim berawal dari Pondok Pesantren Bendo Kediri, yang saat itu beliau menduduki jabatan sebagai ketua umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) cabang Istimewa Pare pada tahun 1958.

Kemudian pada tahun 1959, KH. Fu’ad Hasyim aktif di Nahdlatul Ulama sebagai mubaligh. Didasari dengan istiqomah dan kecintaan yang kuat terhadap NU, pada periode kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beliau dipercaya sebagai Rois Syuriah pengurus besar Nahdlotul Ulama hasil Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, hinggga beliau wafat.

Teladan dalam Berkebangsaan

“Ulama tidak boleh beroposisi kepada pemerintah serta tidak menjadi bagian pelaksana amar ma’ruf nahi munkar, peranannya terdapat dalam QS. At-Taubah : 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Begitulah penggalan yang disampaikan oleh KH. Fuad Hasyim tentang Islam Wasathiyah dalam Kebangsaan pada saat acara Koferwil NU Jawa Barat Tahun 1990 di Pesantren Sukamiskin Bandung.

Menjadi pemimpin di negeri yang memiliki luas wilayah 8.300.000 km2 (Diambil dari situs Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) dengan total pulau yang telah dibakukan dan disubmisi ke PBB sejumlah 16.056 serta berdasarkan data BPS tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air dan 6 agama yang diakui bukanlah perkara mudah, terlebih bagi seorang ulama dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Bagi KH. Fuad Hasyim, orang-orang yang beroposisi dengan pemerintah meskipun dengan alasan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar pastilah tidak akan kuat dan bertahan, beliau menegaskan “cepat remuk badannya”. Karenanya setiap muslim harus memahami cara terbaik untuk mengamalkan hadits Baginda Nabi SAW sehubungan dengan hal tersebut, yaitu :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu _dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar bil yad yang sesuai menurut KH. Fuad Hasyim yaitu bukan semata-mata menghakimi orang yang berbuat maksiat berdasarkan kebenaran satu sisi, sebagaimana apabila ada orang sedang mabuk di jalan karena mengonsumsi narkoba lalu dengan sewenang-wenangnya seorang tokoh agama atau masyarakat langsung menghakiminya dengan memukul atau memasukkannya ke dalam parit, padahal di negara Indonesia ada lembaga khusus yang menangani kriminal atau segala kejahatan, yaitu kepolisian. 

Jika yang tersebut dilakukan (menghakimi pelaku kemaksiatan), maka bukan hanya pelaku yang mengonsumsi narkoba saja akan di proses hukum, akan tetapi orang yang menghakimi di luar dari lembaga berwenang pun akan turut terkena sanksi oleh pihak kepolisian, karena sesungguhnya sejak dahulu tidak ada hakim swasta. Hal demikian bukan karena pihak kepolisian anti terhadap amar ma’ruf nahi munkar, melainkan mereka hanya menjalankan prosedur hukum yang sesuai dengan aturan negara berasaskan Pancasila dan UUD 1945.

Maka langkah yang tepat untuk amar ma’ruf nahi munkar bil yad di negara Indonesia ialah dengan menjadi bagian dari kekuasaan, yakni sebagai Walikota, Bupati, Gubernur sampai dengan Presiden juga sebagai Polri, Hakim, serta TNI.

Kenyataannya tidak semua orang mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bil yad semacam diatas, oleh karenanya Nabi Muhammad SAW menyampaikan pada lanjutan haditsnya dengan in lam yastathi’ fa bilisanih

Dalam pandangan KH. Fuad Hasyim, makna amar ma’ruf nahi munkar bilisanih ialah bukanlah ditujukan kepada seorang dai dan muballigh yang menyampaikan pesan keagamaan dari majelis satu ke lainnya atau panggung A menuju B dan seterusnya, karena orang-orang yang berceramah bisa saja di dengar atau tidak oleh pihak berwenang, namun beliau menguraikan bahwa arti dari pada sabda tersebut yaitu jadilah wakil dari rakyat yang legal dan disahkan oleh negara untuk bisa membuat peraturan yang bisa menegakkan kebenaran dan menolak segala kemungkaran baik tingkat Kota, Provinsi, ataupun Nasional, yakni dengan menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II,  DPRD Tingkat I, bahkan DPD, DPR, dan MPR RI. 

Disebabkan karena dengan Undang-undang-lah perangkat negara lainnya akan tunduk dan patuh menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Langkah ketiga dalam amar ma’ruf nahi munkar apabila tidak sanggup mengambil peran pada tahap pertama dan kedua sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka tegakkanlah dengan qalbi, yang demikian sesungguhnya merupakan paling lemahnya iman.

Orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan hati, dalam perspektif KH. Fuad Hasyim bukanlah hanya diam saat hati tidak cocok dengan kebijakan dan peraturan yang ditentukan, karena makna amar menurut kitab al-Waraqat ialah (طلب الفعل) sedangkan nahi (طلب الترك), yaitu amar merupakan tuntunan mengerjakan sedangkan nahi yaitu tuntutan meninggalkan, adapun kata falyughayyirhu (فَلْيُغَيِّرْهُ) adalah fi’il mutaaddi yaitu kata kerja yang mengharuskan siapa saja yang mengetahui sesuatu untuk melakukan kegiatan atau disebut berperan aktif. Jadi setiap individu tidak boleh diam saat mengetahui adanya kemungkaran. 

Meskipun tidak menjadi bagian dari agen perubahan dengan “tangan” dan “lisan”, hendaklah setiap individu turut membantu para pelaksana negara, yakni Lurah, Camat, Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden, DPR, TNI, Polri, dan lainnya untuk menegakkan perkara yang ma’ruf dan menghancurkan kemungkaran, bila perlu dengan kekuatan fisik sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Atas dasar uraian tersebutlah maka disimpulkan, bahwa setiap muslim tidak boleh melakukan oposisi apalagi sampai berkeinginan menggulingkan pemerintahan yang sah dan diakui. Hendaklah selalu bahu membahu bergotong royong mengeluarkan setiap persoalan yang dihadapi dan tidak lelah untuk menyampaikan aspirasi kepada lembaga berwenang.

Sehubungan dengan kedudukan ulama dalam amar ma’ruf nahi munkar, KH. Fuad Hasyim menyampaikan bahwa peran ulama yaitu tafaqquh fid din, sebagaimana termaktub dalam QS. At-Taubah : 122, yaitu tidak masuk ke dalam politik praktis, namun fokuslah dalam membimbing umat agar dapat menjadi orang-orang yang berwawasan luas secara lahiriah maupun bathiniah.

Dalam pandangan tokoh nasional Prof. Mahfud MD. pada acara Haul ke-XV di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon Jawa Barat dikutip dari nu.or.id, bahwa KH. Fuad Hasyim merupakan sosok yang membawa nilai-nilai Islam Wasathiyah disetiap dakwahnya.

KH. Fuad Hasyim senantiasa menyampaikan bahwa muslim yang meyakini bahwa agama yang dianutnya paling benar, tetapi pada saat bersamaan tidak menyalahkan orang lain yang punya keyakinan berbeda.Menurut Prof. Mahfud MD., cara berpikir seperti itu menimbulkan sikap saling menghargai antar pemeluk agama atau disebut tasamuh. Dalam konteks lebih luas, keberadaan agama-agama disebut pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan membenarkan semua agama, melainkan mengakui keberadaan agama lain. Perbedaan agama merupakan fakta dan fitrah yang diciptakan oleh Allah SWT.

Muhammad Bachtiar Efendi, S.Th.I., MA.

Koordinator Data Center PCNU Kota Bekasi

Exit mobile version