Menakar Bid’ah dalam kacamata Fiqih.

Dalam kacamata fiqih yang namanya hukum dan peristiwa akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan zamannya.

Dalam ilmu fiqih, ada dua sumber keilmuan yang dapat di jadikan referensi untuk menetapkan sebuah hukum. Yang pertama, pendapat ahlul ro’yi, atau orang orang yang lebih cenderung menjadikan akal sebagai penimbang hukum. Ada juga ahlul atsr yang cenderung mengutamakan alquran dan hadist sebagai referensi.

Sebelum Mazhab Syafi’i di kenal, sudah ada dua mazhab besar dalam kajian fiqih, yaitu Hanafi dan Maliki, yang mana keduanya memiliki kesamaan dan kesepakatan dalam menetapkan hukum atau peristiwa yang terjadi apabila tidak pernah di lakukan nabi saw maka dapat di tinjau dari beberapa sudut pandang : ijma’, qiyas, istihsan, ‘urf dan masolih mursalah. Untuk yang terakhir, masholih mursalah adalah upaya hukum jika tidak ada lagi dalil yang bisa di jadikan pijakan. Dan sebagai catatan, ijtihad apapun untuk menetapkan hukum adalah semata mata untuk kemaslahatan agama bukan kemaslahatan hawa nafsu belaka.

Ibnu mas’ud ra.beliau berpendapat, bahwa urf sebagai referensi hukum apabila suatu masyarakat melihat sisi positip pada sebuah kebiasaan (budaya) maka di sisi Allah akan menjadi baik selama itu tidak melanggar aturan dan syari’at. Bahkan khalifah Umar RA membatasi akal untuk berijtihad krn bagi beliau akal memiliki keterbatasan, sehingga solusinya adalah mengambil qiyas sebagai bahan masukan terhadap sesuatu yang tidak ada menjadi sesuatu yang ada dg cara yang ma’ruf. Satu hari, Kholifah umar pernah menasehat abi musa al asy’ari berkait dengan tips pengambilan hukum yang di ikuti dg keraguan, kata umar, “al fahmu al fahmu, artinya fiqih itu adalah sesuatu yang memiliki ganjalan di hatimu dari apa-apa yang tdk ada jawabannya di dalam al Quran dan sunnah, maka harus di cari sesuatu yang serupa dan semisal sebagai modal untuk mengambil qiyas di saat itu”.

Ada apa demgan Wahabi? Mereka adalah kelompok yang mengajak kita kepada ajaran sesungguhnya, padahal dalam kamus ahlussunnah wal jama’h tdaik ada kamus baru dalam kaitan ibadah. Yang ada hanyalah beberpa perkara khilafiyah dalam fiqih mu’amalah. Perkara tahlilan , Peringatan Maulid, zikir kuat, Sholawatan dengan ragam pujian kepada Rasul, di anggap wahabi sesuatu yang menyesatkan, padahal kenyataannya, mereka jadikan raja-raja mereka seperti Tuhan, sehingga ketakutan mereka kepada raja mereka melebihi ketakutan mereka kepada Allah. Berbeda dengan kalangan ahlussunah, mereka bebas membahas masalah agama dengan pemimpin mereka dan memutuskan perkara hukum agama tanpa di ikuti hawa nafsu. Dan itulah pengejawantahan komunikasi fiqih antara al imam syafi’i dengan khalifah saat itu dalam surat menyuratnya yang berkait dengan hukum, sehingga di bukukan oleh pengikutnya menjadi kitas arrisalah.

Semoga Allah menjaga Ulama NU di manapun berada sehingga terus menginspirasi kita untuk terus belajar sampai akhir hayat menjemput.

By. Shohi81

H. Shohibul Wafa Tajul Arifin

Kandidat Doktor pada konsentrasi Hukum Keluarga (ahwal syakhsiah)

Prodi Hukum Islam,

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati

Bandung