NU Selalu Di Hati

Perkembangan NU di Bekasi tidak bisa dipisahkan dari tokoh-tokoh yang mensyiarkan agama Islam di Bekasi. Hal ini bisa merujuk informasi dari para ulama Bekasi, terutama setelah kemerdekaan RI. Pada waktu itu, di Bekasi dikenal adanya tiga serangkai yang menjadi panutan masyarakat dalam keilmuannya di bidang agama. Mereka adalah KH. Noer Ali, KH. Muhtar Tabrani, dan KH. M. Tambih. Ketiga tokoh ini merupakan murid KH. Marzuki dari Kampung Melayu, Batavia Centrum (sekarang Jakarta Pusat). KH. Marzuki adalah ulama yang melahirkan tokoh-tokoh agama di Betawi. Populer disebut Guru Marzuki.

Dengan berpisahnya tiga serangkai itu, membawa dampak psikologis dan sosiologis diantara mereka bertiga. Menurut KH. Ahmad Syauki, Ketua Jatman NU Kota Bekasi yang juga cucu Kiai Tambih, hubungan pertemanan dan keilmuan mereka menjadi dingin. Sedangkan dampak sosiologisnya, terjadi pertentangan dan perselisihan antara Partai Masyumi dan Partai NU di Bekasi.

Pertentangan para santri Guru Marzuki ini menjadi perhatian serius dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Karena dilihat akar historisnya, NU di Bekasi baru berdiri satu tahun setelah NU resmi memisahkan dari Masyumi pada 1952, maka perlu didukung oleh PBNU. Kalau tidak, Partai NU di Bekasi akan kalah bersaing dengan Masyumi karena partai ini sudah eksis dan sudah dikenal masyarakat Bekasi jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan RI. Sangat wajar kalau pada masa awalnya, NU Bekasi sering mendapat kunjungan dari pengurus PBNU seperti KH. Idham Chalid dan KH. Moh. Dahlan.

Walaupun baru resmi berdiri tahun 1953, NU Bekasi mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai kegiatan ke-NU-an rutin dilaksanakan. Antara lain konferensi tahunan pada 9-Maret 1957 di Madrasah H. Munajar Gempol Cakung Bekasi. Warga Bekasi sangat antusias menghadiri konferensi yang diisi penjelasan mengenai paham Ahlussunah Waljamaah. Konferensi juga membahasa utusan yang akan dikirim ke Muktamar NU ke-22 di Jakarta tahun 1959. Mereka adalah K. Abdullah Sjair, KH. Muhtar Tabrani dan M. Abdurrachman.

Pada awalnya untuk mensyiarkan agama Islam, ketiga tokoh ini bergabung dengan Masyumi. Namun dalam perjalanannya, karena Masyumi sudah tidak menghargai pendapat kyai-kyai pesantren, dan NU keluar dari Masyumi, Kiai Muhtar dan Kiaia Tambih mendirikan Partai NU pada 1953. Hanya KH. Noer Ali yang bertahan di Masyumi.

Dengan berpisahnya tiga serangkai itu, membawa dampak psikologis dan sosiologis diantara mereka bertiga. Menurut KH. Ahmad Syauki, Ketua Jatman NU Kota Bekasi yang juga cucu Kiai Tambih, hubungan pertemanan dan keilmuan mereka menjadi dingin. Sedangkan dampak sosiologisnya, terjadi pertentangan dan perselisihan antara Partai Masyumi dan Partai NU di Bekasi.

Pertentangan para santri Guru Marzuki ini menjadi perhatian serius dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Karena dilihat akar historisnya, NU di Bekasi baru berdiri satu tahun setelah NU resmi memisahkan dari Masyumi pada 1952, maka perlu didukung oleh PBNU. Kalau tidak, Partai NU di Bekasi akan kalah bersaing dengan Masyumi karena partai ini sudah eksis dan sudah dikenal masyarakat Bekasi jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan RI. Sangat wajar kalau pada masa awalnya, NU Bekasi sering mendapat kunjungan dari pengurus PBNU seperti KH. Idham Chalid dan KH. Moh. Dahlan.

Walaupun baru resmi berdiri tahun 1953, NU Bekasi mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai kegiatan ke-NU-an rutin dilaksanakan. Antara lain konferensi tahunan pada 9-Maret 1957 di Madrasah H. Munajar Gempol Cakung Bekasi. Warga Bekasi sangat antusias menghadiri konferensi yang diisi penjelasan mengenai paham Ahlussunah Waljamaah. Konferensi juga membahasa utusan yang akan dikirim ke Muktamar NU ke-22 di Jakarta tahun 1959. Mereka adalah K. Abdullah Sjair, KH. Muhtar Tabrani dan M. Abdurrachman.